Rabu, 29 April 2009

Keruntuhan Struktur Bangunan Sipil

Pada dekade 1990-an, dunia konstruksi Indonesia digegerkan oleh dua peristiwa yaitu runtuhnya jembatan Sarinah di Jakarta dan jembatan Comal di Jawa Tengah. Apapun penyebab masalahnya yang pasti kondisi struktur bangunan pada saat itu sudah tidak mampu menerima gaya yang terjadi. Gaya yang terjadi padaa saat keruntuhan itu terjadi belum tentu merupakan beban maksimum yang telah diterima struktur tersebut.

Salah satu indikasi penyebab keruntuhan jembatan Sarinah adalah terjadinya penurunan kualitas pada kabel penyangga struktur bangunan jembatan. Penurunan kualitas kabel tersebut bisa disebabkan pengkaratan dan atau fatik. Fatik bisa terjadi apabila selama penggunaan jembatan tersebut menyebabkan getaran pada struktur. Getaran yang berlebihan bisa terjadi ketika beban tetap yang dipikul jembatan mendekati ambang batas, sehingga ketika struktur menerima tambahan beban, walaupun besaran beban tersebut kecil, menyebabkan struktur bergetar. Kemungkinan lain adalah sistem tumpuan kabelnya rusak atau pemasangannya kurang sempurna sehingga kondisinya berubah sesuai dengan fungsi besaran pembebanan dan waktu.

Penyebab keruntuhan jembatan Comal lebih kompleks. Jembatan ini terbentuk dari rangka baja, terletak di ruas jalan Jalur Pantura Jawa, yang merupakan salah satu ruas jalan yang paling tinggi menerima pembebaban lalu lintas di Indonesia. Jalur ini termasuk jalur yang sering dilaporkan telah mengalami pembebanan lalu-lintas berlebih. Banyak hal yang dapat menyebabkan jembatan ini runtuh. Kemungkinan pertama, kondisi ikatan rangka baja telah mengalami penurunan kualitas yang disebabkan proses pengaratan atau pengenduran pengikat; kedua, kualitas rangka baja menurun akibat pengaratan; ketiga, rangka atau pengikat rangka baja telah mengalami fatik akibat beban lalu lintas yang berulang; keempat, terjadi proses penguatan gaya akibat resonansi yang melebihi daya dukung rangka; dan kelima, kombinan dari berbagai penyebab tersebut. Banyak ahli struktur menduga, penyebab utama keruntuhan jembatan Comal adalah gejala fatik dan resonansi.

Fatik disebabkan oleh perubahan bentuk akibat berban berulang. Semakin besar beban yang diterima dan semakin sering pengulangannya, maka semakin cepat terjadinya fatik. Fatik menyebabkan struktur rangka baja menjadi lebih lemah. Selanjutnya keruntuhan hanya tinggal menunggu waktu. Pada saat terjadinya keruntuhan terdapat truk besar di atas jembatan. Kemungkinan truk tersebut sedang berhenti di atas jembatan. Mesin truk yang sedang berhenti menghasilkan getaran yang lebih kuat dan diperkirakan telah beresonansi dengan getaran jembatan sehingga menimbulkan gaya resultan yang tidak mampu lagi dipikul oleh rangka jembatan. Sehingga terjadilah peristiwa keruntuhan tersebut.

Keruntuhan struktur bangunan sipil tidak selalu disebabkan oleh tambahan beban dari para pengguna bangunan. Kasus-kasus keruntuhan yang pernah dilaporkan antara lain disebabkan:kelemahan penyangga bangunan, kelemahan pondasi, kelemahan struktur bawah, kelemahan struktur atas dan kombinasi dari kelemahan-kelemahan tersebut.

Kasus kelemahan penyangga pondasi banyak dilaporkan di Kalimantan dan Sumatera bagian Timur. Tanah di Pulau Kalimantan terbentuk dari tanah endapan aluvial dan hasil pembusukan tetumbuhan yang kemudian membentuk tanah humus. Kedalaman tanah lunak dan humus di Kalimnatan bisa mencapai lebih dari 20 meter. Struktur bangunan timbunan tanah di kalimantan sering menjadi masalah karena daya dukung tanah dasar yang sangat lemah. Lalu lintas tradisional di Kalimntan memanfaatkan sungai-sungai yang banyak terdapat di sana. Ketika timbul kebutuhan pembangunan jalan raya, banyak jembatan yang dibangun. Agar sungai tetap dapat dimanfaatkan untuk lalu-lintas, elevasi jembatan dari permukaan sungai harus cukup tinggi, sehingga diperlukan oprit jembatan yang tinggi pula. Timbunan oprit yang tinggi dan proses konstruksi yang tidak cermat menyebabkan tanah dasar tidak mampu mendukung struktur bangunan timbunan, sehingga oprit jembatan mengalami keruntuhan.

Kasus kelemahan penyangga pondasi tidak hanya berbahaya bagi timbunan oprit. Timbunan oprit menyebabkan tekanan tanah lateral yang relatif tinggi dan mendesak pondasi tiang pancang jembatan sehingga sebagian tiang pancang patah. Kasus ini pernah dilaporkan di ruas jalan Lintas Timur Sumatera dan beberapa di Kalimantan Selatan. Kasus lain terjadi di ruas jalan Sampit – Pangkalan Bun Kalimantan Tengah, badan jalan berupa timbunan tanah yang membelah rawa tiba-tiba runtuh dan amblas sedalam 5 meter. Diperkirakan butiran halus tanah timbunan terhanyutkan oleh aliran air di dalam tanah. Kasus ini diperkirakan sama dengan kasus yang terjadi di Rawa Opa Sulawesi Tenggara dan di ruas jalan tol Purbaleunyi Purwakarta Jawa Barat. Kasus runtuhnya bendung Situ Gintung bisa saja disebabkan terjadinya perlemahan pada bagian dasar tanggul akibat aliran dalam tanah.

Kasus kelemahan pondasi banyak dilaporkan terkait dengan kurang cermatnya memprediksi kondisi tanah lunak seperti kasus di atas; kurang berkualitasnya material pondasi khususnya pada bagian sambungan pondasi; kurang cermatnya proses pemancangan yang menempatkan ujung pondasi tiang pancang pada lensa tanah yang tidak stabil; kurang cermatnya penempatan dasar pondasi telapak atau sumuran yang mudah tergerus aliran sungai. Keruntuhan bangunan akibat penempatan dasar pondasi yang kurang cermat banyak terjadi di daerah tanah lunak dan di daerah dengan aliran sungai yang deras. Kasus di daerah tanah lunak berupa penurunan tanah berlebihan dan atau perbedaan penurunan yang signifikan. Perbedaan penurunan tanah sering dianggap remeh, padahal sangat berbahaya karena dapat menimbulkan momen puntir yang kekuatannya mungkin tidak mampu ditahan oleh struktur atas. Struktur bangunan gedung yang mengalami keretakan, dan mungkin runtuhnya salah satu jembatan yang baru dibangun di Kalimantan Tengah dapat disebabkan oleh perbedaan penurunan pondasi tersebut.

Keruntuhan akibat kelemahan struktur bawah tidak banyak dilaporkan karena biasanya dianggap sebagai akibat kelemahan pondasi. Terjadinya perbedaan penurunan pondasi mungkin bukan disebabkan penempatan ujung atau dasar pondasi yang kurang cermat, tetapi dapat disebabkan tidak dipasangnya struktur pengikat atau balok yang memadai di atas pondasi sehingga beban dari struktur atas tidak terdistribusi dengan merata ke pondasi. Kasus ini sering terjadi pada pembangunan perumahan pribadi, khususnya yang menggunakan pondasi setempat. Kasus serupa sering terjadi pada pemasangan pondasi terucuk di bawah tanah timbunan. Ikatan antar terucuk yang memadai tidak dipasang sehingga pondasi terucuk tidak bekerja sebagai satu kesatuan blok massa.

Abutmen bisa dianggap sebagai pondasi jika ia berfungsi sebagai pondasi telapak, atau sebagai struktur bawah jika ia dibangun di atas pondasi tiang atau sumuran. Keruntuhan abutmen sebagai struktur bawah jarang terjadi. Yang sering terjadi adalah akibat kelemahan pondasinya.

Kasus yang paling sering ditemukan adalah kasus keruntuhan akibat kualitas struktur atas yang kurang memadai, khususnya pada struktur bangunan dari beton, komposit, rangka dan campuran aspal. Pada tahun 1988, suatu struktur bangunan gorong-gorong ukuran 2x2 meter di Kalimantan Selatan runtuh pada saat perancahnya dibongkar. Setelah diteliti ternyata mutu betonnya sangat rendah. Dari hasil penelitian lebih lanjut, mutu benton yang rendah tersebut disebabkan oleh campuran material yang kurang baik dan penggunaan air asin. Banyak dilaporkan lantai beton jembatan yang retak; kolom, balok, lantai beton dan dinding bangunan gedung yang retak dan malahan runtuh yang diakibatkan oleh rendahnya kualitas material dan pelaksanaan pekerjaan.

Banyak ruas jalan yang hancur padahal usianya masih sangat muda. Hasil pembangunan jalan di Kalimantan Timur yang berbatasan dengan Kalimantan Selatan pernah hancur karena menggunakan material batu yang daya lekatnya dengan aspal sangat kurang. Di Lampung, salah satu ruas jalan hancur sebelum digunakan karena penggunaan campuran aspal dingin yang pelaksanaannya kurang tepat. Pemasangan campuran aspal panas pun yang teknologinya sudah sangat dikuasai, apabila kurang mendapatkan pengawasan sering menghasilkan lapisan perkerasan jalan yang mudah mengelupas dan hancur.
Saat ini sedang mode di daerah menggunakan lapisan perkerasan beton sejak terjadinya kelangkaan aspal yang harganya melangit. Hanya sayang, karena ingin mengejar target panjang jalan yang besar, tebal lapisan perkerasan beton dirancang hanya 10 cm. Padahal, karena barang publik, pengendalian lalu lintas jalan paling sulit dilakukan. Sampai saat ini belum dilaporkan bagaimana kinerja jalan beton tersebut. Tapi sudah dapat terbayangkan apabila terjadi kerusakan akibat kelebihan beban, fatik, atau pengerutan, akan memerlukan biaya pemeliharaan yang mahal sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar